Saya pulang.

Akhirnya, bus Damri yang saya tumpangi berhenti juga. Saya intip sekilas langit Bogor lewat jendela. Mendung. Masih menyandang gelar kota hujan rupanya. Semoga hujannya tidak turun sebelum saya sampai rumah. Turun dari bus saya pun bergegas mengambil koper. Koper mungil, karena sebagian besar barang-barang sudah saya kirim dari sana.

Minta dijemput, naik taksi, atau… naik angkot? Ah, naik angkot sajalah, sudah lama tak merasakan naik angkot. Toh barang bawaan tak terlalu banyak, pikir saya, sambil melangkahkan kaki ke depan gerbang Botani Square. Lalu saya menunggu sejenak untuk menyeberang jalan. Bukannya menunggu saat dimana lalu lintas memungkinkan untuk menyeberang, tapi menunggu ada yang hendak menyeberang juga. Kebiasaan, menyeberang di sini rasanya butuh ditemani.

Sesampainya di seberang, angkot-angkot dengan berbagai nomor trayek berseliweran. Sebenarnya untuk menuju rumah bisa melalui dua rute, tapi saya memutuskan untuk memilih rute yang melewati SMA saya dulu. Walaupun harus jalan sedikit, tak apalah.

Saya agak lupa, angkot nomor berapa yang harus saya naiki ya? Kalau tidak salah… nomor 06, atau 13. Ah, itu dia 06, mari kita coba. Angkot yang saya naiki tetap konsisten di jalur kiri, menyusuri Kebun Raya Bogor, pertanda saya menaiki angkot yang benar.

Di lapangan Sempur terlihat beberapa orang sedang latihan baris-berbaris, pasti untuk upacara bendera tanggal 17 Agustus nanti. Lalu istana Bogor mulai terlihat, gedung sekolah saya mulai tampak, dan si angkot pun berhenti sejenak di lampu merah. Sebentar lagi saya harus turun. “Kiri!”, saya berseru begitu saya melihat zebra cross.

SMP dan SMA saya terletak di satu kompleks sekolah, mulai dari TK sampai SMA. Letaknya persis di seberang istana Bogor. Setelah menyeberang, saya masih harus berjalan menyusuri kompleks sampai ke depan gedung SMP untuk menaiki angkot menuju rumah. Ketika melewati lapangan futsal di depan gedung SD, jadi teringat ketika saya dulu selalu berharap seseorang sedang bermain bola di lapangan itu. Dan kalau iya, saya pun berjalan pelan-pelan sambil sesekali mencuri pandang. Ehem, masa muda, harap maklum.

Sayangnya ini hari Minggu, sepi, padahal kangen berada di antara anak-anak berseragam sekolah. Dan saya pun jadi penasaran, si abang tukang komik masih berjualan kah? Harga komik sudah berapa ya sekarang? Jadi ingat dulu waktu harganya masih enam ribuan, dan itu pun saya belinya seringkali ngutang.

Lagi-lagi angkot-angkot dengan berbagai nomor trayek berseliweran. Akh, dasar Bogor kota angkot. Hampir semua nomor melewati kompleks rumah saya: 07, 08 biru, 16. Pokoknya semua kecuali 12 dan 07A. Saya memilih angkot biru bernomor 08 jurusan Citeureup. Kenapa? Kebiasaan. Karena biasanya angkot ini sepi penumpangnya.

Dan saya pun kembali merasakan rute perjalanan yang selalu dilewati selama 12 tahun sekolah. Hampir tak ada yang berubah, kecuali beberapa bangunan dan restoran baru. Bogor Permai masih saja ramai, jadi ingin turun sebentar lalu minum es sekoteng. Hawanya panas sih, mungkin karena mau hujan.

Sampai di bundaran air mancur dan melewati TK saya dulu, saatnya bersiap-siap. Beberapa rumah sebelum gapura ‘Haurjaya’ terlihat, saya berteriak, “Kiri!”. Supaya si angkot berhenti tepat di depan kompleks perumahan saya.

Terlihat beberapa tukang becak sedang tidur siang. Ketika menghampiri mereka, salah satunya mengenali saya lalu bertanya, “Ke mana aja, Neng?”. Saya pun cuma bisa tersenyum, lalu menaiki becak yang dengan sigap disiapkan oleh salah satu tukang becak.

Tukang becak baru, jadi dia tidak tahu rumah saya, terpaksa memberi instruksi, “Pokoknya jalan lurus, Pak, nanti setelah ban belok kanan”. Ya, untung ban bekas di perempatan jalan itu dari zaman dahulu kala sampai sekarang masih teronggok di sana tak berubah. Setelah becak belok kanan, melewati panti asuhan, lalu gang mesjid, saatnya memberi instruksi, “Habis ini belok kiri ya, Pak”.

Rumah saya pun terlihat, masih seperti yang dulu, hanya warna pagarnya saja berubah. Beberapa kucing terlihat sedang bersantai, dan anak-anak kucing yang tidak saya kenal sedang bermain di halaman.

“Stop!”, saya turun dan membuka dompet. Entah sekarang tarifnya berapa, jadi saya sodorkan 10 ribu lalu menunggu kembalian. Dan kemudian saya pun berteriak… “Nandooo!!”

Ya, saya pulang… dalam mimpi.

2 thoughts on “Saya pulang.

    • paramitopia says:

      ga pulang lebaran, huhu.. nanti mungkin akhir tahun pulangnya ^^
      ehehe, ciyeeh, mau ganti hape ya mbak? bukannya abis utak-atik casing baru, hihi ;p

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *