Prasangka Terhadap Pasangan Beda Ras

Mark Zuckerberg and Priscilla Chan. Picture is taken from here.

Sengaja saya tulis dalam Bahasa Indonesia, supaya bisa menjadi pembuka pikiran bagi orang-orang Indonesia yang sering berprasangka buruk terhadap pasangan yang berbeda ras dan warna kulit. Walaupun agak ga mungkin orang-orang bodoh itu mampir ke sini dan baca blog saya, tapi berharap boleh dong ya :p. Saya menulis berdasarkan pengalaman saya sendiri, jadi lingkupnya terbatas untuk wanita WNI yang punya pasangan WNA alias bule.

Sudah sering sih saya membaca postingan blog senada dengan topik yang sama. Cukup googling dengan kata kunci ‘suka duka punya pasangan bule’, dan anda pun akan menemukan berjibun curahan hati para wanita yang teraniaya, tsahhh :D. Jadi, sebelum traveling dengan sang Beruang di Asia, khususnya di Indonesia, saya sudah menyiapkan hati dan mental, tak lupa poker face, supaya tetap tabah dengan hinaan yang mungkin terdengar.

Kasus #1: “Kira-kira ketemu ayam di mana ya?”

Di perjalanan ferry kembali ke Bali setelah mendaki Ijen, ada segerombolan anak SMP/SMA yang mungkin sedang study tour ke Bali (soalnya saya sempet nguping mereka ngomongin tugas tentang budaya di Bali). Dari mereka yang sibuk curi-curi foto selfie dengan sang Beruang, tiba-tiba terdengar pertanyaan itu, “Kira-kira ketemu ayam di mana ya?”

Kalau dipikir-pikir Bahasa Indonesia itu tinggi sekali ya level ambiguitas-nya. Kalau dikonfontrasi langsung, yang ngomong bisa saja ngeles dengan alasan, “Oh, kita lagi ngomongin ayam KFC kok, kira-kira ada di mana ya di Bali” :D. Fakta bahwa mereka bergerombol di sebelah kami, dan kemudian yang diajak bicara oleh orang tersebut memotong dengan, “Hush!”, lalu berbisik-bisik, membuat saya yakin bahwa saya lah yang dimaksud dengan ‘ayam’. Dan seperti yang kita semua tahu, perempuan yang diasosiasikan dengan ayam berarti pelacur (kasihan ya ayam, jadi negatif gitu). See, that’s the power of context for interpreting the meaning of a language 😉

Kasus #2: “Untuk memperbaiki keturunan ya, Mbak.”

Setelah puas snorkeling, canoeing dan hiking selama seminggu di Pulau Tioman, Malaysia, di hari terakhir kami memutuskan untuk relaksasi di spa yang disediakan oleh resort tempat kami tinggal. Ketika para terapisnya tahu bahwa saya orang Indonesia, mereka langsung heboh, “Owalah, lha kami ini juga orang Indonesia!” :D. Selama sesi pijat kami pun tanpa hentinya mengobrol dalam Bahasa Indonesia, karena terapis saya juga sama-sama punya tahi lalat di ‘atas bibir minggir kanan’ seperti saya :). Agak menjelaskan kenapa beliau ceriwis sekali, hahaha.

Obrolan berlangsung tanpa ada prasangka buruk (setidaknya menurut perasaan saya), mereka cuma penasaran bagaimana kami bertemu. “Karena sama-sama belajar di Italia,” saya jelaskan. “Wah, hebat, mahal ya Mbak?” “Beasiswa kok…” “Waaah, berarti pinter banget Mbaknya” :). Cuma ada satu statement yang bikin saya mangkel dikit. “Untuk memperbaiki keturunan” itu memang sudah jadi komentar standar yang sering sekali terdengar ya. Cuma kok seakan-akan kalau ga sama mas bule keturunan saya bakalan jelek dan butuh diperbaiki ya, hiks ;(.

Terapis saya juga sempat curhat tentang prasangka buruk yang seringkali diterima oleh terapis spa a.k.a masseur. “Mbaknya tahu sendiri kan, gimana pandangan orang Indonesia tentang tukang pijat, dikiranya pasti plus-plus. Makanya kalau orang di kampung tanya, saya malu ngaku, saya cuma bilang kerja di resort, titik.” Mbak-mbak terapis juga curhat kemarin ga bisa milih waktu pemilu presiden, ga ada yang memfasilitasi katanya. “Sedih ya, Mbak, kayak ga dianggap warga negara Indonesia.” Padahal menurut mereka pekerja Indonesia di Pulau Tioman cukup banyak jumlahnya.

Kasus #3: “Kalau sudah selesai bagi-bagi dong ke kita.”

Kami habis makan malam di 7 Eleven (oh yeah, saya memperkenalkan budaya makan cup noodles di convenient store kepada sang Beruang :D) dan memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar Heritage (Colonial) district di Singapura. Karena ada pekerjaan konstruksi, tak sengaja kami berjalan ke arah jalan buntu, diakhiri sebuah hotel di ujung jalan.

Tak jauh dari pintu hotel ada dua orang laki-laki lagi nongkrong, dan ketika kami lewat tiba-tiba celetukan itu terdengar, diikuti cekikik dan tawa. Awalnya saya ga ngeh, tapi kemudian salah seorang dari mereka seakan memancing reaksi saya, dengan memanggil “Neng…”, mungkin untuk memastikan apakah saya mengerti Bahasa Indonesia atau tidak. Tentu saja saya pasang poker face terbaik saya sambil tetap mengoceh dalam Bahasa Inggris. Terutama ketika kami harus melewati mereka lagi karena harus berbalik arah menghindari jalan buntu.

Sekali lagi, pernyataan itu sungguh sangat ambigu, dan amat sangat mungkin saya salah memaknainya. Tapi dengan konteks bahwa: (1) celetukan itu terdengar ketika kami lewat, diikuti tawa mesum, (2) mereka memancing reaksi saya dengan memanggil “Neng…”, dan (3) kami sedang berjalan ke arah sebuah hotel, membuat saya yakin bahwa pernyataan/permintaan itu berkonotasi menjijikkan.

Kasus #4: “So, how did you two meet? From internet?”

Kami sedang berenang di kolam renang hotel, ketika seorang bapak (warga Singapura, club member di kolam renang tersebut), mulai menginterogasi kami berdua. Setelah kami jelaskan asal-usul kami, dia terdengar agak kagum, “Wow, German and Indonesian, from Italy, and now having a holiday in Singapore?” :).

Saya jelaskan bahwa saya sedang magang di universitas, “Which major?” “Computer science”. “And you?” dia bertanya kepada sang Beruang, “Also computer science, databases”. Lalu terdengarlah pertanyaan itu, “So, how did you two meet? From internet?” :D. Bisa jadi pertanyaan ini muncul karena kami sama-sama mendalami computer science, tapi bisa juga karena ada prasangka bahwa pasangan berbeda ras biasanya pertama kali bertemu lewat dunia maya, lewat dating sites misalnya. Yah, cuma si Bapak yang tahu prasangka yang mana yang dia punya ;). We laughed, “No, we met because we were both studying in Italy.” 🙂

*******

Dunia ini sudah berubah lho, dibandingkan zaman dahulu kala, ketika berpindah benua tidak semudah sekarang, dan akibatnya muncul ras dan etnik yang berbeda karena adaptasi masing-masing kelompok manusia terhadap lingkungannya. Jadi seharusnya pasangan berbeda ras sudah menjadi hal yang lumrah terjadi di zaman sekarang.

Apalagi dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan komunikasi dengan siapapun dimanapun kapanpun di dunia ini, plus semakin banyak orang mengerti Bahasa Inggris (yang bisa dianggap bahasa global umat manusia sekarang), batasan ruang, waktu dan bahasa menjadi semakin kabur. So, apa salahnya punya pasangan dengan warna kulit yang berbeda kalau secara pikiran (dan intelejensia, ehem :p) gelombangnya sama?

Lalu tentang berprasangka, sah-sah saja kok untuk setiap orang mengembangkan prasangka di pikiran masing-masing, baik prasangka baik maupun buruk. Tapi bukan berarti seseorang berhak menghina orang lain, hanya berdasarkan apa yang dilihat, padahal sama sekali tidak tahu cerita latar belakang seutuhnya.

Beruntung di kasus #2 dan #4 saya bertemu dengan orang-orang yang baik, dan saya diberi kesempatan untuk meluruskan prasangka yang mungkin salah. Di kasus #1 dan #3, saya memutuskan untuk berpura-pura tidak mengerti daripada mengundang konflik, walaupun sakit hatinya terasa sampai sekarang ^^; Karena, seperti yang dikatakan sang Beruang, “Don’t bother, they are just stupid people,” mungkin juga terlalu bodoh untuk diberi pengertian dan hanya buang-buang waktu.

Saya juga sering kok berprasangka buruk terhadap orang lain sesuai dengan penampilan atau tingkah lakunya, dan sering diprotes sang Beruang juga soal ini, “Not everyone is as bad as you think.” Tapi biasanya itu terjadi karena saya super duper berhati-hati, karena saya takut dicopet, ditipu, dirampok, atau bahkan diperkosa. Better be careful than be sorry later, but yeah, I think I need to tone down my cautiousness a bit… :p

Semoga saya ga kapok traveling bersama sang Beruang di Indonesia, because Indonesia, and South East Asia, are just too beautiful to be missed 😉

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *