Tentang 'bising'-nya media sosial


picture is taken from here

Seru rasanya mengamati para pengguna media sosial di Indonesia, yang ramai-ramai beropini dan berdebat pada masa pemilihan caleg dan presiden, yang mengomentari hal-hal sepele macam cara mengalikan bilangan bulat, dan yang terakhir… masalah pilkada langsung dan tak langsung. Lalu ada yang berkomentar: “Males liat timeline isinya ricuh politik”, atau “Ah, timeline isinya tentang perkalian semua”, termasuk saya juga sih ;). Padahal sebenarnya sih yang salah ya yang mantengin timeline hampir setiap saat :D.

Saya jadi berpikir, ini sebenarnya sebuah kemajuan lho, bahwa kita mampu beropini dan berpikir kritis, walaupun mungkin kadang medianya atau cara penyampaiannya kurang tepat. Kenapa saya bilang kemajuan? Setidaknya untuk saya lho ya. Karena berkaca dari pengalaman saya, sistem pendidikan di Indonesia tidak melatih para siswanya untuk beropini, berpikir kritis, memiliki pendirian atas suatu masalah dan tahu cara berdebat secara elegan.

Lalu saya pun mengingat-ingat, apa saja yang saya pelajari di masa SMP dan SMA dulu? Saya belajar banyak! Tapi masalahnya, otak saya hanya dicekoki pengetahuan terus-menerus tanpa sempat mencerna: “Untuk apakah ini?”, “Mengapa begitu, mengapa bukan begini?”, atau “Saya tidak setuju dengan Pak/Ibu guru!” Untuk yang terakhir, saya jadi ingat beberapa cerita siswa yang dimusuhi oleh gurunya (dan diperlakukan tidak adil), cuma karena berani berdebat dengan sang guru.

Untuk pelajaran ilmu pasti macam matematika, fisika, kimia, dan biologi, saya rasa metode pengajaran yang saya dapatkan dulu sudah cukup baik. Cukup banyak jam praktek di laboratorium supaya siswa lebih paham lewat eksperimen. Tapi untuk ilmu sosial macam sejarah, agama, dan ilmu kenegaraan (dulu namanya PPKn ya)? Saya rasa siswa hanya dididik untuk tahu. Walaupun mungkin masing-masing siswa mengembangkan pendapat masing-masing di otak mereka, sayangnya tidak ada kesempatan untuk menyampaikan itu, dan untuk tahu opini siswa lain, untuk kemudian berdebat tentang itu dan kemudian memperluas pandangan masing-masing.

Beropini, berpikir kritis, memiliki pendirian atas suatu masalah dan tahu cara berdebat secara elegan. Di pendidikan yang lebih tinggi, mahasiswa jurusan sosial pasti mendapat pelajaran tentang ini. Hanya mengira-ngira sih, karena saya mantan mahasiswi jurusan Teknik Informatika :D. Well, di berbagai forum di universitas juga pasti ada kesempatan untuk belajar berorganisasi dan berpolitik. Tapi tak ada salahnya kan, mendidik siswa untuk berpikir kritis dan mengemukakan pendapat sejak dini, baik secara lisan maupun tulisan. Secara lisan, bagus untuk melatih public speaking. Secara tulisan, seperti di luar negeri gitu lho, pe-er nya kebanyakan menulis paper, untuk melatih kalau-kalau mau lanjut sekolah sampai doktorat ;).

‘Sejak dini’ menurut saya sebaiknya mulai dari SMP, bukan SD. Pelajaran di masa SD tak ada yang saya ingat. Yang masih tersimpan di memori saya cuma jajanan favorit (coki-coki, pisang molen), permainan (lompat karet, galasin), penjaga sekolah yang galak, acara pramuka menginap di sekolah, menjadi dokter kecil cuma karena seragamnya keren (tanpa tahu harus melakukan apa), menjadi petugas upacara bendera, dan masih banyak lagi… selain tentang pelajaran. Makanya saya amat sangat mendukung ketika beberapa pelajaran *kalau tidak salah Bahasa Inggris dan Ilmu komputer ya?* dihilangkan (atau dikurangi bobotnya?) dari kurikulum SD untuk mengurangi beban siswa. Masa SD itu masih waktunya bermain! Apalagi kelas 2 SD, bukan saatnya dibuat bingung dengan konsep perkalian *numpang berpendapat :p*.

Sebelum ada media sosial, kita hanya bisa beropini, mengetahui opini orang lain, dan kemudian berdebat lewat media cetak atau secara langsung tatap muka. Sekarang, dengan adanya media sosial, hanya dengan beberapa sentuhan jari kita bisa tahu pikiran macam apa yang ada di otak seseorang, dan beberapa detik kemudian orang tersebut bisa tahu apa pendapat kita tentang pikiran tersebut. Tidak ada lagi batasan ruang dan waktu untuk berdebat dan tukar pikiran. Bahkan history percakapannya pun terekam sempurna tanpa perlu ada notulen *yang bisa menulis super cepat dengan stenografi*. Sehingga dalam debat salah satu pihak tidak bisa mengelak dengan, “Gw ga ngomong gitu tadi! Coba tanya yang lain, emang gw ngomong gitu?” 😀

Kelemahannya mungkin karena kadang sulit mengekspresikan sesuatu hanya dengan menggunakan tulisan, sehingga maksud yang sebenarnya tidak tertangkap oleh orang lain. Kasus salah tangkap ini sering sekali terjadi di media sosial. Makanya, belajar cara mengemukakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan itu penting. Juga cara berdebat dengan elegan, bukannya kalau merasa kalah lalu ujung-ujungnya mengeluarkan kata-kata kasar bahkan caci-maki.

Jadi kesimpulannya, yang ramai-ramai di media sosial itu anggaplah sedang belajar, karena kami tidak mendapat kesempatan untuk belajar melakukan itu saat masih di sekolah dulu ;).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *